BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Sejarah
Pengendalian Hayati
Sejarah
pengendalian hayati sebenarnya telah dimulai jauh sebelum pengendalian hayati didefinisikan
pengertiannya. Masyarakat Mesir pada 2.000 SM telah memelihara kucing untuk
mengendalikan tikus yang menyerang hasil panen mereka.Usaha pengendalian hayati
pertama yang tercatat adalah pada tahun 900 dimana petani jenruk china
menempatkan semut angkrang untuk melindungi pohon jeruk mereka dari serangan
serangga. Mereka juga memasang bambu diantara pohon jeruk sehingga semut
tersebut dapat berpindah pindah dari satu tanaman ke tanaman lainnya.karean
semut dapat hidup berkolini sehingga semut dapat mengendalikan serangga sebagai
hama tanamn jeruk di china.
Sedangkan di
Indonesia dilakukan sejak Pemerintahan Belanda pada dekade kedua sampai kelima
abad XX. Dua orang indonesia yang sering disebut dalam upaya pengendalian
hayati adalah Awibowo dan Tjoa Tjien Mo, karena keduanya mempunyai perhatian
yang sangat besar dalam pemanfaatan musuh alami atau agens pengendalian hayati
(Kalshoven, 1950).
Pengendalian
hayati mengalami hambatan akibat penemuan pestisida kimia, yang dimulai dari
penemuan DDT sebagai hasil samping pengolahan minyak bumi. Bahkan pengendalian
hayati hampir dilupakan ketika produksi pestisida kimia sudah mencapai ribuan
merk dagang di seluruh dunia, sampai terjadinya sindroma pestisida dan
malapetaka akibat penggunaan pestisida kimia yang tidak bijaksana di berbagai
negeri.
Di Indonesia
Pengendalian Hayati juga diperhatikan kembali setelah PHT memasuki bidang
pendidikan. Peningkatan penggunaan parasitoid telur ulat Chelonus sp.
Untuk mengendalikan penggerek seludang kelapa sejak tahun 1968 di NTT (Untung
dan Rosyid, 1969; Mangoendihardjo, 1970) merupakan awal penerapan kembali upaya
peneraapan pengendalian hayati. Kegiatan itu mendorong didirikannya Laboratorium
Pengendalaian Hayati di Fakultas Pertanian UGM pada tahun 1972. Kemudian di
BIOTROP Bogor sejak tahun 1975; Pengendalian hayati juga dijadikan salah satu
materi dalam kursus dan latihan tentang gulma untuk kawasan Asia Tenggara.
Kegiatan itu bahkan ditindaklanjuti dengan introduksi kumbang moncong Neochetina
eichhorniai Warner untuk mengendalikan enceng gondok
(Mangoendihardjo dan Kasno, 1976).
Inpres 3 Th. 1986 membuktikan
kebenaran konsep PH, juga meyakinkan berbagai pihak bahwa konservasi musuh
alami, sebagai salah satu teknik Pengendalian Hayati dalam pengendalian wereng
coklat sangat penting. Intruksi presiden tersebut bahkan berdampak positip
terhadap aspek sosial ekonomi, antara lain berkurangnya jumlah pestisida kimia
yang digunakan secara drastis dari 17.000 ton Tahun 1986 menjadi 3.000 ton
Tahun 1989. Pengurangan jumlah pestisida kimia yang digunakan disusul dengan
penghapusan subsidi pestisida, telah menghemat anggaran belanja negara 200
milyar per tahun ( Oka, 1990 ).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pengendalian hayati adalah pengendalian serangga hama
dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan musuh - musuh alaminya (agen
pengendali biologi), seperti predator, parasit dan patogen. Dengan
diterapkannya pengendalian hayati diharapkan diperoleh produk pertanian yang
aman dab sehat bagi konsumen dalam kaitannya dengan pestisida, terutama bagi
produk yang berorientasi ekspor, disamping aman bag manusia atau konsumen
aman juga bagi lingkungan karena
lingkungan tidak tercermar akan bahan kimia.
4.2 Saran
Saran yang
dapat saya sampaikan adalah kita harus mengembangkan dan sangat mendalami
tentang pengendalian hayati agar makanan yang kita konsumsi sehat dan
lingkungan menjadi aman dan meyakinkan
petani akan kesadaran bahaya petisida yang digunakan untuk membasmi hama .
0 comments:
Post a Comment