PENGENDALIAN HAYATI

Oleh: Ir. Otto Marwoto MP )*


1. PENGERTIAN
  1. Pengendalian Hayati (Biological Control) adalah pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) oleh musuh alami atau agensia pengendali hayati. Tetapi bias juga disebut mengendalikan hama dan penyakit tanaman dengan cara biologi, yaitu memanfaatkan musuh-musuh alami. Dalam hal ini yang dimanfaatkan yaitu Musuh Alami, sedangkan yang menggunakan atau memanfaatkan adalahmanusia. Jadi jelas ada campur tangan manusia dalam setiap pengendalian hayati.
  2. Pengendalian Hayati Terapan adalah pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dengan menggunakan agensia hayati. Dalam hal ini diperlukan adanya campur tangan manusia dalam penyediaan dan pelepasan musuh alami.
  3. Agensia Pengendali Hayati (Biological Control Agens) adalahsetiap organisme yang meliputi spesies, subspesies, varietas, semua jenis serangga, protozoa, cendawan, bakteri, virus serta organisme lainnya yang dalam tahap perkembangannya dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau organisme pengganggu dalam proses produksi, pengelolaan hasil pertanian dan berbagai keperluannya. Dalam memanipulasi/ rekayasa teknologi musuh alami (Predator, Parasitoit, Cendawan, Virus, Bakteri, dll) menjadi agens hayati. Untuk pengendalian OPT perlu adanya campur tangan manusia
Di Indonesia pengendalian dengan Agensia Hayati sudah dilakukan sejak tahun 1925, yaitu pengendalian Plutela xylostella L pada tanaman kobis dengan memanfatkan parasitoid Diadegma semiclausum Hellen.
2. SEJARAH PENGENDALIAN HAYATI
Pengendalian Hayati tercatat mulai dilakukan pada atahun 1200 (Simon et.al, 1976). Sedangkan di Indonesia dilakukan sejak Pemerintahan Belanda pada dekade kedua sampai kelima abad XX. Dua orang indonesia yang sering disebut dalam upaya pengendalian hayati adalah Awibowo dan Tjoa Tjien Mo, karena keduanya mempunyai perhatian yang sangat besar dalam pemanfaatan musuh alami atau agens pengendalian hayati (Kalshoven, 1950).
Pengendalian hayati mengalami hambatan akibat penemuan pestisida kimia, yang dimulai dari penemuan DDT sebagai hasil samping pengolahan minyak bumi. Bahkan pengendalian hayati hampir dilupakan ketika produksi pestisida kimia sudah mencapai ribuan merk dagang di seluruh dunia, sampai terjadinya sindroma pestisida dan malapetaka akibat penggunaan pestisida kimia yang tidak bijaksana di berbagai negeri.
Pengendalian hayati mulai mendapat perhatian lagi setelah Stern et,.al. (1959) menggunakan konsep pertama tentang Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Lebih-lebih setelah Carson (1963) mengemukakan berbagai dampak negatif akibat penggunaan pestisida kima dalam bukunya yang amat terkenal berjudul ’’Silent Spring’’. Bosch (1980) makin meningkatkan perhatian khalayak dunia akan pentingnya pengendalian hayati setelah mengungkap berbagai kejahatan pestisida dalam bukunya yang berjudul ’’The Pesticide Conspiracy’’. Dialah yang pertama kali menggunakan istilah mafia pestisida untuk menyebut oknum yang memproduksi, memperdagangkan atau menggunakan pestisida kimia tanpa memperdulikan kelestarian ekosistem.
Di Indonesia Pengendalian Hayati juga diperhatikan kembali setelah PHT memasuki bidang pendidikan. Peningkatan penggunaan parasitoid telur ulat Chelonus sp. Untuk mengendalikan penggerek seludang kelapa sejak tahun 1968 di NTT (Untung dan Rosyid, 1969; Mangoendihardjo, 1970) merupakan awal penerapan kembali upaya peneraapan pengendalian hayati. Kegiatan itu mendorong didirikannya Laboratorium Pengendalaian Hayati di Fakultas Pertanian UGM pada tahun 1972. Kemudian di BIOTROP Bogor sejak tahun 1975; Pengendalian hayati juga dijadikan salah satu materi dalam kursus dan latihan tentang gulma untuk kawasan Asia Tenggara. Kegiatan itu bahkan ditindaklanjuti dengan introduksi kumbang moncong Neochetina eichhorniai Warner untuk mengendalikan enceng gondok (Mangoendihardjo dan Kasno, 1976).
Inpres 3 Th. 1986 (Anonim, 1986) kecuali membuktikan kebenaran konsep PHT, juga meyakinkan berbagai pihak bahwa konservasi musuh alami, sebagai salah satu teknik Pengendalian Hayati dalam pengendalian wereng coklat sangat penting. Intruksi presiden tersebut bahkan berdampak positip terhadap aspek sosial ekonomi, antara lain berkurangnya jumlah pestisida kimia yang digunakan secara drastis dari 17.000 ton Tahun 1986 menjadi 3.000 ton Tahun 1989. Pengurangan jumlah pestisida kimia yang digunakan disusul dengan penghapusan subsidi pestisida, telah menghemat anggaran belanja negara 200 milyar per tahun ( Oka, 1990 ).
Dengan diberlakukannya UU No. 4 Tahun 1982 (Anonim, 1982) dan UU No. 12 Tahun 1992 (Anonim, 1992), pelestarian lingkungan hidup yang serasi dan penerapan sistem PHT pada setiap upaya penanggulangan jasad pengganggu, merupakan kewajiban bagi kita. Pasal 22 ayat 1 No. 12 tahun 1992 menegaskan bahwa penggunaan cara dan atau sarana yang dapat mengganggu kesehatan, merusak lingkungan dan sumber daya alam dilarang. Hal ini berarti pestisida kimia tidak boleh digunakan sembarangan dan cara hayati dalam penerapan sistem PHT wajib diutamakan
Kini pemerintah mulai mengurangi pemasaran pestisida kimia di Indonesia dengan cara tidak memperpanjang ijin pemasaran pestisida kimia yang habis ijin pemasarannya. Hal itu akan terus dilakukan ssampai ijin pemasaran pestisida kimia yang tidak akrab lingkungan habis. Kebijakan semacam ini telah mendorong timbulnya gagasan produksi pestisida hayati di Indonesia. Kini bahkan telah ada rencana untuk memproduksi pestisida hayati dengan bahan patogen strain lokal berbagai jenis hama, tanpa melupakan kegiatan pengendalian hayati yang lain (Mangoendihardjo et.al,; 1996).
3. PERANAN MUSUH ALAMI SEBAGAI SARANA PENGENDALI
Telah disebutkan di muka, bahwa pendekatan ekologi dengan mempertimbangkan keanekaragaman hayati merupakan dasar pemikiran dan pelaksanaan pengendalian hayati. Dengan demikian musuh alami menjadi komponen penting ekosistem dalam setiap kegiatan pengendalian hayati. Keberadaan musuh alami dalam ekosistem dapat dilihat dari peranannya dalam pengendalian alami (Natural Control) dan pengendalian hayati (Biological Control) serta Statusnya sebagai “Agensia Hayati”.
  1. Pengendalian Alami
Dalam proses Pengendalian Alami (PA) musuh alami menekan populasi jasad pengganggu tanpa campur tangan manusia, dan semua terjadi menurut hukum alam yang sempurna. Musuh Alami (MA) itu sendiri dalam proses tersebut merupakan faktor hayati yang berinteraksi dengan jasad pengganggu, yang juga dipengaruhi oleh faktor non hayati. Maksudnya, kecuali menekan populasi jasad pengganggu dalam kegiatannya MA tersebut juga dipengaruhi oleh faktor non hayati.
Dengan sifatnya yang tergantung pada inang atau mangsanya, maka sekaligus kehidupan musuh alami itu juga dipengaruhi oleh jasad pengganggu yang bersangkutan (Huffaker et.al; 1976), terutama parasit (oid) (Dout et.al; 1976) dan patogen (Weiser et.al; 1976). Jika faktor non hayati lebih kuat pengaruhnya, mungkin baik MA maupun jasad pengganggunya sama-sama tertekan. Hal itu antara lain akibat penyimpangan iklim misalnya hujan yang amat lebat, kekeringan atau penurunan dan kenaikan suhu yang terjadi secara tiba-tiba. Karena sifat ketergantungan MA terhadap inang atau mangsanya, maka keberadaan inang yang dibutuhkan bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan MA adalah mutlak. Dengan kata lain, untuk, kesinambungan MA selalu dibutuhkan ketersediaan jasad pengganggu yang bersangkutan. Ini berarti, untuk kelestarian MA, maka populasi jasad pengganggu tidak boleh mencapai nol, atau tidak ada jasad pengganggu yang tersisa. Dengan lain perkataan kita tidak boleh memusnahkan sesuatu jasad pengganggu, agar keseimbangan hayati dan alami dapat dilestarikan.
Komposisi musuh alami yang menekan populasi jasad pengganggu di suatu tempat biasanya merupakan Kompleks Musuh Alami yang membentuk Komunitas khsus. Jika Keevolusi yakni evolusi bersama antara jasad pengganggu dan musuh alami lainnya telah berjalan demikian lanjut, maka komunitas yang terdiri dari jasad pengganggu dan musuh alaminya berada dalam keseimbangan hayati, dan dengan lingkungan non hayati terjadi keseimbangan alami. Kondisi inilah yang seharusnya selalu dipertahankan, sesuai dengan prinsip keanekaragaman hayati dalam suatu ekosistem.
  1. Pengendalian Hayati
Agak berbeda dengan pengendalian alami, maka pengendalian hayati merupakan proses penekanan populasi jasad pengganggu dengan campurtangan manusia. Pengertian ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Smith di muka yang tersirat dalam istilah memanfaatkan atau menggunakan. Dalam hal ini yang dimanfaatkan atau digunakan yakni MA sedangkan yang menggunakan atau memanfaatkan adalah manusia. Jadi jelas ada campurtangan manusia dalam setiap upaya PH.
Dalam berbagai pustaka antara lain yang dikemukakan oleh Simmonds (1970) dan juga Bosch et al. (1982) yang menyitir difinisi yang dikemukakan oleh Debach (1964), bahwa PH adalah Kegiatan parasit, pemangsa dan patogen dalam menekan kepadatan populasi suatu jenis organisme lain pada suatu tingkat rata-rata yang lebih rendah dibanding dalam kondisi yang terjadi ketika mereka tidak ada (absen). Berdasarkan definisi itu timbulah istilah yang menyamakan pengendalian alami sebagai Pengendalian hayati yang terjadi secara alami (Naturally Biological Control (NBC)”. Istilah NBC masih perlu ditelaah karena sepintas lalu memang logis, tetapi kalau diperhatikan lebih dalam sesungguhnya tersirat makna yang kurang logis, sehingga rancu.
Penulis tidak sependapat dengan istilah terakhir untuk memberi makna pada pengendalian alami dengan NBC, karena hal itu akan merancukan pengertian. Kerancuan itu terjadi karena istilah NBC tidak dipilahkan antara proses yang terjadi di alam tanpa campur tangan manusia dan proses yang terjadi dengan campur tangan manusia. Kita harus konsisten dengan kata pemanfaatan atau penggunaan (the use) yang maknanya ada sesuatu atau seseorang yang menggunakan. Dalam hal ini yang menggunakan musuh alami adalah manusia. Dengan demikian kita dapat membedakan secara tegas antara pengendalian alami dan hayati berdasarkan pemahaman ada tidaknya campur tangan manusia sebagai pihak yang menggunakan musuh alami sebagai agens pengendalian hayati.
Penulis menduga bahwa istilah NBC muncul, karena mungkin dulu ada penulis yang belum memasukan komponen manusia dalam ekosistem. Kini hampir dalam tiap pemaparan ekosistem, komponen manusian telah dimasukan dalam ekosistem. Oleh karena itu istilah Pengendalian Hama Terpadu (PHT) disempurnakan menjadi Pengelolaan Hama Terpadu (juga disingkat PHT), karena keberadaan komponen manusia sebagai pengelola ekosistem dinilai penting.
Musuh alami kurang berfungsi
  • Kualitas inang Enkapsulasi Hiperparasitisme
  • Penggunaan pestisida
  • Lingkungan kurang mendukung
  • Populasi musuh alami rendah
Keuntungan Pemanfaatan Musuh Alami :
  • Relatif murah & sangat menguntungkan
  • Aman terhadap lingkungan, manusia dan hewan berguna
  • Berdaya guna (efektif) dalam pengendalian hama sasaran
  • Efisiensi dalam jangka panjang (tidak memerlukan ulangan pengendalian)
  • Kompatibel/dapat digabungkan dengan cara-cara pengendalian lainnya
Kelemahan Pemanfaatan Musuh Alami :
  • Perlu waktu lama, kira-kira 3-5 th
  • Tingkat keberhasilan (efektifitas) tergantung pada ketangguhan MA yang digunakan
  • Tidak dapat digunakan untuk mengendalikan hama baru karena inangnya spesifik
  • Kadang-kadang timbul kekebalan hama sasaran tetapi sangat jarang
  • Perlu waktu tertentu dalam aplikasinya (utamanya jenis jamur,bacteri & virus)
Kendala Pemanfaatan Musuh Alami :
  • Modal Investasi, Fasilitas dan SDM, Kebiasaan Petani
  • Inang tersedia
  • Musuh alami ada
  1. Agensia Pengendali Hayati
Sebagai konsekuensi penggunaan istilah dengan pengertian baku yang jelas, antara pengertian Musuh Alami dan Agensia Pengendali Hayati (APH) yang dialih bahasakan dari Biological Control Agents (BCA) perlu dibedakan. Di forum nasional, khususnya Pusat Karantina Tumbuhan (PUSKARA) kini menggunakan istilah “Agensia Hayati” sebagai alih bahasa dari Biotic agents, termasuk di dalamnya BCA sehingga dalam kegiatan rapat dinas yang diadakan setahun sekali ada Komisi Agensia Hayati, karena dalam tugasnya juga mengurusi jasad hidup lain yang tidak termasuk MA.
Adapun makna Agensia Pengendali Hayati adalah Musuh Alami yang sudah atau sedang digunakan sebagai sarana (agens) untuk Pengendalian Hayati.
Berdasarkan cara kerja atau sifatnya musuh alami dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok yaitu Predator, Parasitoid dan Patogen. Patogen antara lain berasal dari kelompok Virus, Bakteri, Cendawan dan Nematoda.
  1. Predator
Predator adalah adalah hewan / binatang yang memangsa hama. Pada umumnya serangga predator pra dewasa dan dewasa hidup dalam habitat yang sama. Telur-telur predator akan diletakan didekat mangsanya atau didalam habitat mangsanya.
  • Burung Hantu, Anjing, ular; dan sebagainya Sebagai predator / pemangsa hama tikus.
  1. Parasitoid
Parasitoid adalah serangga yang memarasit atau hidup dan berkembang dengan menumpang serangga lain (inang)
    • Trichograma sp, berperan sebagai parasitoid telur penggerek batang padi.
    • Diadigma semiclausum, Memparasit larva /ulat kobis.
  1. Patogen
Patogen adalah jasad renik (mikroorganisme : Cendawan bakteri, virus, Nematoda ) yang menyebabkan infeksi dan menimbulkan penyakit pada Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
    • Apabila individu yang terserang adalah serangga hama disebut entomopatogen
  • Beauveria bassiana, adalah cendawan entomopatogen untuk wereng batang coklat, Walang sangit, Ulat Grayak, kutu kebul, Aphis ,dsb.
  • Metarizium sp adalah cendawan entomopatogen untuk mengendalikan hama wereng batang coklat, kutu kebul Uret, Kumbang Kelapa, Kutu Bubuk Kopi dsb.
    • Apabila yang terserang / mengintervensi aktifitas patogen penyebab penyakit tanaman baik fase parasitik maupun saprofitik disebut agens antagonis
  1. Trichoderma sp dan Gliocladium sp adalah cendawan antagonis untuk penyakit tular tanah (Fusarium oxisporum, Pythium sp, Sclerotium sp, Antraknosa sp.).
  2. Pseudomomas flourocens adalah Bakteri antagonis untuk penyakit layu ( Pseudomonas solanacearum)
4. PENDEKATAN PEMANFAATAN AGENSIA HAYATI
Agak berbeda dengan Pengendalian Alami, maka Pengendalian Hayati merupakan proses penekanan populasi jasad pengganggu dengan campur tangan manusia. Dalam hal ini yang dimanfaatkan yakni musuh alamii sedangkan yang memanfaatkan adalah manusia jadi jelas ada campur tangan manusia.
    1. Pengendalian hayati dalam arti sempit (entomologist) diartikan sebagai “Kegiatan parasit, Pemangsa (Predator) dan Patogen dalam menekan kepadatan populasi organisme lain supaya senantiasa berada pada suatu tingkat yang lebih rendah .
    2. Pengendalian Hayati dalam arti luas : mencakup manipulasi genetic, antibiotik dan obat-obatan,: tanaman yang resisten, binatang/hewan yang resisten terhadap patogen, parasit dan predator.
    3. Pengendalian hayati penyakit tumbuhan yaitu kegiatan yang dapat mengurangi kepadatan inokulum atau menekan aktifitas patogen/parasit dalam menimbulkan penyakit, baik dalam kondisi dorman atau aktif yang dilakukan oleh salah satu atau lebih organisme, dan terlaksana secara alami atau melalui manipulasi lingkungan, inang (tumbuhan), agens antagonis atau melalui introduksi masal dari satu atau lebih agens antagonis.
Oleh karena itu seseorang yang akan bekerja dengan agens pengendali hayati, ia juga harus memiliki pengetahuan mengenai patogen tumbuhan dan factor lingkungan baik biotic maupun abiotik yang mempengaruhinya antara lain : persaingan hidup, parasitisme, antibiosis dll. Hal tersebut perlu diketahui agar dapat melakukan manipulasi yang lebih menguntungkan agens hayati dan atau lebih merugikan inangnya dalam hal ini adalah patogen tumbuhan.
Keberhasilan pengendlaian hayati antara lain dipengaruhi oleh ketepatan dan pemilihan species yang digunakan untuk mengendalikan Hama Penyakit sehingga perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
    • mempunyai inang spesifik.
    • Beradaptasi dengan baik didaerah dimana di introduksi
    • Memiliki daya pengusiran dan pertumbuhan populasi yang baik
    • Tidak ada predator lain
Dikenal 3 strategi yang dikemukakan Cook (1991) untuk pengendalian hayati, yaitu :
  1. Populasi hama dibuat sebatas atau di bawah ambang ekonomi.
  2. Sistim pertahanan yang eksklusif, (daun/akar berasosiasi dengan mikro Organisme yang dapat menjadi benteng pertahanan dari infeksi hama)
  3. Sistim pertahanan sendiri (diperoleh secara keturunan atau lewat Varietas Unggul Tahan Hama)
Syarat dasar pengembangan agensia hayati :
  • Pengetahuan khusus mengenai biologi musuh alami seperti predator dan parasitoid sangat mutlak diuperlukan sebagai dasar dalam mempertinggi efisiensi musuh alami baik saat dipelihara secara massal di laboratorium atau peranannya di lapangan.
Paling tidak, ada 5 (lima) keuntungan agensia hayati :
  1. Efisiensi tinggi, alat dan bahan murah dan pembuatannya mudah.
  2. Selektifitas yang tinggi.
  3. Dapat berkembang biak sehingga ekosistem menjadi baik.
  4. Kemungkinan terjadinya resisten dan resurgensi OPT (Organisme Penganggu Tanaman) menjadi sangat kecil.
  5. Mengurangi pengaruh samping yang buruk.
  1. Langkah Langkah Pengembangan Agensia Hayati
           Berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu dilalui dalam memproduksi agens hayati sehingga dapat dikomersialkan
    1. Mencari, mengisolasi dan mengidentifikasi agensia hayati yang merupakan tanggungjawab para pakar.
    2. Uji Keefektifan, pakar bersama petani
    3. Uji Keamanan (aman bagi pengguna, lingkungan termasuk organisme non sasaran), pakar bersama petani atau cukup uji laboratorium.
    4. Uji kestabilan genetik dari agensia hayati (tidak menurun virulensinya).
    5. Uji potensi produksi masal.
    6. Formulasi agensia hayati yang efisien tetapi tetap efektif.
    7. Uji kestabilan dalam bentuk formulasi dan masa simpannya.
    8. Potensi pasar.
    9. Evaluasi biaya produksi
    10. Analisa perolehan dari investasi (Return of investment)
    11. Pengujian lapang
    12. Membuat hak paten agens pengendali hayati
    13. Komersialisasi dan pemasyarakatan produk “Biopestisida”
  1. Pendekatan Pengendalian Hayati
Seperti halnya cara pengendalian jasad pengganggu pada umumnya, dalam Pengendalian Hayati dikenal beberapa teknik yang diterapkan berdasarkan daerah asal, kondisi ekosistem setempat dan kepentingan ekonomi. Secara garis besar ada tiga pendekatan dalam pemanfaatan agens pengendali hayati yaitu : Introduksi, Konservasi dan Augmentasi.
  1. Introduksi
  • Introduksi adalah memindahkan atau mendatangkan musuh alami dari satu daerah kedaerah baru . Contoh untuk mengendalikan hama bukan hama asli di suatu daerah tersebut sehingga musuh alami tidak ada.sebagai contoh Curinus coerulens adalah musuh alami kutu loncat pada lamtoro.
  1. Koservasi
  •  Konservasi adalah upaya untuk memelihara dan meningkatkan keefektifan musuh alami yang telah ada di daerah tersebut. Contoh perbaikan bercocok tanam, penyediaan (polen, nektar, air) dan menghindarkan penggunaan pestisida berspektrum luas.
  1. Augmentasi
  •  Augmentasi adalah penambahan jumlah musuh alami melalui pelepasan musuh alami dilapang dengan tujuan untuk lebih meningkatkan peranannya dlam menekan populasi OPT. Ada beberapa pendekatan dalam augmentasi yaitu :
    • Inokulasi : adalah penambahan musuh alami dalam jumlah sedikit karena populasi hama dilapang masih rendah. Diharapkan nantinya musuh alami tersebut dapat berkembang untuk menekan OPT.
    • Inundasi adalah penambahan musuh alami dalam jumlah banyak, dengan tujuan dapat menurunka OPT. Didalam pelaksanaanya perlu dilakukan beberapa kali pelepasan musuh alami.
    • Eksplorasi adalah mengumpulkan calon agens hayati yg dapat diambil dari rhizosphere, phyllospere dan bagian tanaman yg tidak menunjukkan gejala penyakit (sample tanah atau bahan tanaman).
    • Isolasi adalah pemisahan mikroorganisme yang diinginkan dari habitatnya.
    • Formulasi adalah dalam aplikasinya agens hayati harus dicampur dengan bahan lain tetapi tidak mengganggu cara kerja dan efektifitasnya (cairan, tepung, dll)
Dalam pemanfaatan Agens Hayati ,sebagai sarana pengendalian dilapangan perlu disesuaikan dengan sifat atau jenis Agens Hayati, OPT, dan jenis tanamannya
Di Indonesia pengendalian hayati terhadap OPT tanaman telah dilakukan sejak tahun 1925. Salah satu keberhasilan penggunaan musuh alami di Indonesia adalah pengendalian hama Plutella xylostella L. pada tanaman kubis dengan parasitoid Diadegma semiclausum Hellen.
Di beberapa negara maju, produk musuh alami sudah diperjualbelikan. Sebagai contoh Koppert BV salah satu perusahaan di Belanda yang memproduksi predator, parasitoid dan produk lainnya telah memproduksi lebih dari 30 macam musuh alami. Jutaan musuh alami telah dikirim ke 40 negara di seluruh dunia. Pada tahun 2002 nilai pasar untuk produk musuh alami di dunia lebih besar dari Rp. 700 milyar
Pengendalian alami dan pengendalian hayati
  • Pengendalian alami, adalah pengendalian hama oleh faktor-faktor fisik (abiotik) dan organisme hidup (biotik).
  • Pengendalian hayati, yaitu pengendalian hama oleh musuh–musuh alami.
Musuh alami hama : parasitoid, pemangsa (predator) dan patogen serangga.
Pengendalian hayati
  • Pengendalian hayati klasik
Musuh–musuh alami dimasukkan (diimpor) dari luar daerah atau negeri
  • Pengendalian hayati alami
Musuh–musuh alami sudah ada di daerah tersebut
Keuntungan:
  • Relatif murah dan sangat menguntungkan
  • Aman terhadap lingkungan, manusia dan hewan berguna
  • Berdaya guna (efektif) dalam pengendalian hama sasaran
  • Efisiensi dalam jangka panjang (tidak memerlukan ulangan pengendalian).
  • Kompatibel atau dapat digabungkan dengan cara – cara pengendalian lainnya.
Strategi pengendalian hayati
  • Introduksi, yaitu musuh alami dimasukkan (diimport) dari luar negeri atau luar daerah.
  • Augmentasi, yaitu meningkatkan jumlah (populasi) musuh alami yang sudah ada di lapang dengan cara melepaskan musuh alami yang berasal dari pemeliharaan di laboratorium.
  • Inokulasi (suntikan), yaitu pelepasan musuh alami pada awal musim tanam, untuk mencegah peningkatan populasi hama.
  • Inundasi, yaitu musuh alami digunakan (dilepaskan) pada saat kritis, seperti halnya dengan penggunaan pestisida.
  • Pelestarian (konservasi), yaitu semua upaya yang bertujuan untuk melestarikan (memelihara) musuh alami yang sudah ada di lapang
Share on Google Plus

About Unknown

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment